HIKAYAT PERNIKAHAN SUKU KUBU

Tidak dapat diketahui pasti umur pernikahan Ibu Neter dan Bapak Sijuljang. Mereka adalah pasangan suami istri yang berasal dari Suku Anak Dalam, Jambi. Sebelum Ibu Neter melakukan operasi eksisi (pengambilan sebagian jaringan untuk diperiksa), pasangan tersebut sama sekali tidak membayangkan bahwa penyakit tersebut akan ditangani oleh pihak medis, dalam hal ini tim doctorSHARE.


Komunikasi yang sedikit sulit mengharuskan saya meraba-raba umur pasangan tersebut mengingat Bapak Sijuljang dan Ibu Neter tidak begitu fasih berbahasa Indonesia. Saya menarik kesimpulan bahwa umur mereka tidak kurang dari 50 tahun. Mereka mempunyai dua anak dan enam cucu.

Suku Anak Dalam tengah mengalami ancaman kepunahan, salah satunya akibat rendahnya pengetahuan akan kesehatan dan gaya hidup yang kurang higienis. Catatan kematian suku ini sangat tinggi. Jadi, sangatlah langka ketika pasangan berumur di atas 50 tahun masih memiliki fisik yang bugar.


Bukan tidak mungkin Suku Anak Dalam berobat atau memeriksakan kesehatannya mengingat ada tiga puskesmas di Sungai Lingkar, Tebing Tinggi, dan Padang Kelapo. Rumah Sakit Umum pun berdiri di kawasan Hamba Murabulian, Kabupaten Batanghari. Kendati demikian, Suku Anak Dalam lebih memilih melakukan pengobatan secara alami, terlebih dengan kondisi keterbatasan ekonomi.

Ketika doctorSHARE mengunjungi Suku Anak Dalam (25 November 2015), Ibu Neter duduk bergeming tepat di gerbang pintu Balai Adat. Jari tangan, jari kaki, dengkul, pergelangan tangan, siku, dan tumitnya terlihat bengkak dan berwarna kemerahan.


Kondisi tersebut membuat pendiri doctorSHARE, dr. Lie A. Dharmawan menghampirinya untuk pertama kali saat tiba di Balai Adat, Sungai Lingkar, Bukit Dua Belas, Jambi. Akhirnya tim memutuskan untuk melakukan eksisi dengan prediksi bahwa Ibu Neter menderita asam urat.

Ketika operasi eksisi Ibu Neter berlangsung, saya mendapati beberapa poin kesetiaan pada pasangan ini. Ibu Neter yang mulai merengek ketakutan melihat jarum suntik, meminta suaminya tetap berada di dekatnya. Bapak Neter menggenggam tangannya dan sesekali mengelus kepalanya lalu mengubah pandangan mata Ibu Neter untuk menghindari rasa takut akibat melihat proses operasi pada tubuhnya.

Perjalanannya cinta mereka di belantara hutan yang keras tidak menyurutkan romantisme masa lalunya sebagai sejoli yang saling menyayangi.


Lie A. Dharmawan menyunggingkan senyum saat melakukan operasi. Beliau pun berkomentar bahwa mereka adalah pasangan yang romantis dan setia.

“Kita akan melakukan pemeriksaan patologi anatomi (diagnosis penyakit berdasarkan pemeriksaan kasar, mikroskopik, dan molekuler atas organ, jaringan, dan sel). Untuk sementara kita lakukan terapi kepada Ibu Neter dengan memberikan beberapa obat,” ujar dr. Lie pada Bapak Sijuljang setelahnya.


Pernikahan Suku Anak Dalam

Selama hidup, Ibu Neter dan Bapak Sijuljang menghabiskan waktu di hutan. Mereka berpindah tempat secara berkala seperti sebagian besar Suku Anak Dalam lainnya. Saya amati kasih sayang Bapak Sijuljang kepada Ibu Neter sangatlah dalam.


Bapak Sijuljang terus mendampinginya, memapahnya saat berjalan dan membenahi rambut Ibu Neter ketika jatuh menutupi matanya. Dalam tradisi Suku Anak Dalam, pernikahan dianggap upacara yang sangat sakral. Pernikahan pun terjadi dengan banyak prosesi adat yang rumit.

Proses tersebut bermula dari uji ketangkasan calon pengantin (laki-laki). Pihak perempuan kemudian menyerahkan syarat-syarat tertentu dan beberapa hewan buruan. Selanjutnya adalah pembuatan balai nikah yang melibatkan sanak keluarga, sampai prosesi membenturkan kedua kening pengantin sebanyak tujuh kali.


Sejoli yang saling mencintai akan bertunangan sebelum menikah. Pihak orang tua dari calon pengantin akan menemui Tenganai (tetua sekaligus penasihat tumenggung). Saat itu, calon pengantin laki-laki akan mempersiapkan syarat tertentu yang diminta calon pengantin perempuan.

Persyaratannya beragam mulai dari ayam, anjing, biawak, babi hutan, ataupun burung puyuh. Setelah semua syarat terpenuhi, calon pengantin laki-laki akan diuji ketangkasan dua hari sebelum akad nikah. Usai akad nikah, pasangan dipersilakan hidup berdua selama tujuh hari di hutan.

Menurut Tumenggung Batanghari, proses pernikahan tersebut akan menghasilkan sebuah rumah tangga yang penuh kesetiaan, tanggung jawab dan kerja keras.

“Setelah akan nikah, kami (suami dan istri) akan diuji membuat rumah atau dimintai hasil buruan seperti biawak atau babi hutan dengan waktu yang singkat. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan kepada pihak keluarga,” tuturnya.


Maka saya pun mahfum menyaksikan betapa dalamnya cinta pasangan Ibu Neter dan Bapak Sijuljang, sebuah kasih yang mampu membuat bertahan dalam segala kondisi.


back

Featured writing

Tidak dapat diketahui pasti umur pernikahan Ibu Neter dan Bapak Sijuljang. Mereka adalah pasangan suami istri yang berasal dari Suku Anak Dalam, Jambi.

Kematian pasti meninggalkan kesedihan bagi tiap orang yang ditinggalkan. Seperih apapun ditinggal orang tersayang (orang tua, adik, kakak, kekasih), tak dapat membuat mereka kembali.


Sepanjang melakukan perjalanan ke wilayah pelosok di Timur Indonesia, rasanya baru kali ini menemukan tempat yang bebas asap rokok dan ada larangan minum minuman keras.

Jalan panjang terbentang dari kota paling timur di NTT (Nusa Tenggara Timur), Atambua, menuju teras perbatasan NKRI – Timor Leste di Motaain. Ini adalah jalan nasional. Jalan berkelok dari Atambua – Atapupu menuju Motaain ini jadi saksi Referendum 1999 yang berlumur darah.

Apa kabar dengan Desa Biandoga yang terhalang pegunungan?

Aku selalu ingat setiap Tuan keranjingan. Mengetik hingga pagi tanpa menyisakan waktu beristirahat. Menuangkan pikirannya ke tubuh kami. Mengetik cerita mengenai pribumi yang dibonsaikan oleh para penjajah.