Tuan Willem dan Secarik Kertas
Aku selalu ingat setiap Tuan keranjingan. Mengetik hingga pagi tanpa menyisakan waktu beristirahat. Menuangkan pikirannya ke tubuh kami. Mengetik cerita mengenai pribumi yang dibonsaikan oleh para penjajah. Dirinya juga penjajah, tapi tidak seperti yang lain. Beberapa teman-temanku sudah larut dilumuri tinta, setelah itu biasanya juga mereka diberikan kepada Tuan Anthony untuk dijadikan ide cerita Lenong di Onderneming. Ceritanya mengenai bangsa pribumi versus tuan tanah dan para birokrat yang suka menindas. Tapi, tak pernah datang giliranku untuk dimandikan tinta hitam dari mesin ketik, bermerek Underwood itu.
Tuan Willem, begitu orang-orang memanggilnya. Dari cakap angin setiap malam dengan Tuan bupati, assisten residen dan controleur. Tuan selalu menceritakan bagaimana ia sampai ke Batavia. Sama sepertiku, yang harus terguncang-guncang dengan Deeleman dari Naamloze Vennootschaap (NV) Papierfabrieken Nijmegen, Padalarang. Katanya Tuan harus berlayar berjumbul-jumbul di lautan selama satu tahun lebih dari Leiden, pernah menyaksikan para kapten kapal dan para pedagang saling bertengkar hingga memakan korban . Ia pasti tahu mengenai kisah di Teluk Madagaskar. Sampai-sampai Tuan membuat buku yang mengisahkan hidupnya dari Leiden hingga menetap di Batavia
Sebelum menjadi Gubernur Jenderal, Tuan Willem banyak punya pengalaman. Ia sempat pula menjadi onderkoopman, lalu menjadi Raad van Justite di Batavia. Ah ya, Tuan Willem adalah orang yang baik, hanya saja ada satu hal yang selalu tuan sesali, dan tak pernah dilupakannya. Sewaktu menjabat sebagai Raad van Justite. Tuan menorehkannya kedalam kisah diatas tubuh sahabatku. Aku membacanya dengan kesulitan, karena keterbatasan gerak. Untung saja angin berhembus melalui jendela, aku tergerus menumpuk bersama tubuh sahabatku. Tuan mulai bercerita mengenai Istri Bupati yang kehilangan kandi beludru mungil yang berisi 25 Gulden. Angka yang tidak terlalu banyak bagi seorang nyonya besar. Perempuan gempal itu melaporkan kejadian tersebut kepada tuan, sehingga tuan bertindak sesuai tugasnya. Tuan mencurigai kelompok tujuh yang keturunan pribumi berdarah Sunda, yang beranggotakan para pemuda yang kerap beroperasi, karena melakukan perlawanan terhadap kolonial. Kelompok yang sedang dicari-cari oleh pihak kepolisian saat itu.
Akan tetapi, Tuan ontvanger-generaal, sudah memboyong lelaki kurus bernama Soekanto, seorang petani. Tuan Willem Nampak tidak bisa menerima tugasnya ketika Tuan ontvanger-generaal memerintahkannya untuk membawa Soekanto ke dalam interniran. Badannya yang kurus penuh darah dibabad sabuk kulit oleh Tuan ontvanger generaal. Karena kejadian itu, Istri Bupati senang dan membuat suatu acara di kediaman Tuan Willem sebagai bentuk terimakasih. Aku menyaksikannya walau hanya dengan terlentang di atas meja. Malam itu adalah malam yang panjang penuh anggur diwarnai Tanjidor, suara klarinet dan terompet, tentu saja diiringi musik Constan van de wall. Malam itu pula Soekanto meregang nyawa karena kelaparan di interniran tanpa minum dan makan.
Dalam perjalanan hidupnya di dunia ketik mengetik, sama sekali Tuan Willem tidak pernah melibatkanku yang putih ini. Ingin rasanya aku menjadi sebundel naskah Lenong atau surat yang dipukul cap dan diantarkan ke Onderneming en Tjiasem Landen untuk mengurusi bisnis kopi. Tuan Willem lupa pada perjuanganku untuk sampai rumah dinasnya. Aku yang hampir menguning apakah tidak akan dipergunakan sampai akhirnya dibuang? Betapa beruntung teman-temanku yang sejak datang ke Batavia sudah menjadi kertas-kertas berguna. Ada yang dibuat menjadi sebuah buku dengan judul ‘History of Java’, ada yang menjadi bagian Javasche Courant masuk kedalam mesin Johannes Gutenberg, dan pasti yang paling berpahala teman-temanku yang dikirim ke Bataviaas Bijbelgenootschap. Kapan giliranku?
Semasa Tuan menjadi Kepala sekolah Heemraden, sama sekali dia tidak pernah menggunakanku untuk menyampaikan ilmu-ilmu yang berguna bagi murid-muridnya. Aku tetaplah diatas meja memandanginya penuh harap. Banyak suatu kejadian penting yang terjadi saat Tuan menjabat sebagai Gubernur Jenderal. Kejadian-kejadian tersebut melibatkan banyak kertas untuk membuat nota dan menyurat ke Pemerintah Pusat, tetapi sama sekali aku tidak pernah dipergunakan.
Dalam keadaan morat-marit yang pernah membuat komoditas kopi di Java melemah akibat banjir dan peperangan, pun sama sekali tidak melibatkanku untuk menyampaikan suatu pesan di tubuh putih nan pipih ini. Aku ingin berguna dan dibaca, sungguh. Atau jika hanya dijadikan surat pemuas rindu tuan, bagi ayahnya yang seorang pengepul, di Larike sana. Tak apa.
***
Aku lahir di Naamloze Vennootschaap (NV) Papierfabrieken Nijmegen, Padalarang. Tubuhku yang selembar ini mengandung air dari Cimeta. Beberapa bongkah kayu dengan rantai-rantai selulosa dan berserat jerami batang padi. Lalu aku dibungkus bersama 499 lembar yang lain, jika sudah begitu kami menjadi satu rim kertas kuarto. Lalu kami diangkut menggunakan trem atau deeleman bersama dengan kopi, gula, kina, dan tembakau. Entahlah, kami dilahirkan secara massal, bahkan sampai 13 ton/hari.
Melewati jalan berbatu yang sesekali harus dilalui dengan didorong oleh orang-orang pribumi, deeleman tidak sanggup melewatinya dengan tanpa hambatan. Pesawahan yang hijau terbentang luas, bersama pegunungan berlatar biru langit yang indah, tidak menjanjikan jalur yang nyaman lagi tenang. Kurang lebih begitu yang aku dengar dari kedua orang kusir yang bercakap. Aku hanya dapat merasakan guncangannya yang sesak, karena kami saling menempel tanpa celah sedikitpun. Menuju Batavia sangatlah sulit dengan menembus hutan belantara menaiki gunung-gunung. Entah berapa kilo meter, yang mampu diingat hanya saat menaiki lereng Gunung Gede menuju Priangan dan dilanjutkan ke Buitenzorg, Depok, hingga sampai di Batavia.
Istana Weltevreden adalah kediaman Tuan Willem yang telah menjabat sebagai gubernur jenderal saat itu. Ketika kami datang, suasana istana sedang penuh suka cita berpadu lagu-lagu menawan. Sepertinya para bangsawan sedang berdansa saling berpelukan dan berpasangan. Begitu menurut pendengaranku. Kami hanya disimpan disebuah rak kayu yang berdiri tegak menghadap meja dengan mesin ketik diatasnya. Atmat lah yang membawa kami sampai ke rak kayu tersebut. Seorang babu di Weltevreden, setelah aku tinggal disini, aku tahu ternyata Atmat adalah babu sekaligus teman satu-satunya Tuan Willem.
Lima hari berlalu, pada malam hari Tuan Willem masuk kedalam ruang kerjanya. Seolah mencari-cari sesuatu, lalu Tuan memanggil Atmat. Dengan sigap Atmat menuju ruangan tersebut dan menanyakan keperluan tuan.
“Dimana kowe simpan rim kertas kemarin?”
“Saya simpan di rak, Tuan,” Sambil menjawab Atmat menggerakan tangannya mengerayangi kami, mencoba merobek bungkusan yang membundel kami ber-lima ratus.
Penglihatanku terbuka, cahaya lilin berpendar-kelemayar menabrak seorang Eropa berperawakan tinggi dengan baju putih-putih. Kumisnya dipelintirkan ke atas. Rambutnya ikal berwarna kuning dengan kerut wajah yang ramah. Teman-temanku tak berhenti menggunjingkan keadaan di atas meja jati berwarna coklat tua dengan ukiran eropa di ke-empat kakinya. Lalu Atmat membungkuk dan pergi ke luar ruangan. Tuan Willem mengambil secarik temanku dan disimpannya di mesin ketik merk underwood buatan USA. Temanku teriak kegirangan, merasa dirinya sangat berguna dan dibutuhkan. Ketika Tuan Willem mengetik, temanku yang hanya secarik itu berteriak mengikuti rajaman tinta ditubuhnya. Kami ber-499 mendengarkan. Ternyata tuan sedang membuat surat contingente untuk para petani di Batavia.
Tuan Willem adalah penulis yang produktif. Selain melakukan tugas-tugas pekerjaannya sebagai gubernur jenderal, tuan juga sering sekali membuat naskah lenong, ketoprak, opera, bahkan musik dan puisi. 150 lembar temanku sudah menjadi bundelan buku dengan judul ‘Java Slaaf’, senang sekali mereka disatukan dalam voorhandsche title dari kulit dengan vignet yang presisi. Sebenarnya, aku hampir ditariknya masuk kedalam underwood,tapi sayang angin berhembus menamparku kepada sahabat-sahabat yang telah bertinta, di sanalah aku membaca teks yang diketik oleh tuan, salahsatunya mengenai rasa bersalahnya terhadap Soekanto, yang telah mangkat-sekarat.
349 lembar sisa termasuk aku yang sangat pesimis. Mengapa? Sejak terdampar di atas kumpulan teks terisi tinta, aku hanya dikesampingkan oleh Tuan, disimpan di sebelah mesin ketik, didekat cangkir kopinya. Tuan langsung membundel mereka. Tersisa 348 lembar, karena aku tak mungkin masuk hitungan. Aku hanyalah kertas yang dijadikan alas bagi canggkir kopinya. Tuan mengetik lagi banyak hal di underwood, salah satunya mengenai laporan korupsi Hoofdcommissaris Batavia. Orang tersebut bernama Rossentaar, jabatannya ia salah guna sebagai upaya bercocok gulden. Entahlah, bagaimana caranya, yang jelas 100 lembar sahabatku terpakai hanya untuk laporan korupsi tersebut.
Banyak peperangan yang terjadi selama Tuan menjabat, Surat-surat saling bersahut antara tuan dan Oorlog. Belum lagi, arsip-arsip mengenai pajak upeti dan pajak bumi, surat tanam paksa untuk menanam komoditi yang dibutuhkan, juga arsip jual beli kavling tanah. Tersisa 20 lembar, termasuk aku yang rasanya tidak mungkin diambil. Tuan mengalami stres dan mulai sakit-sakitan. Atmat membawakannya teh hangat dan obat dari dokter setiap hari ke ruangan tersebut. 19 lembarnya yang tersisa tidak Tuan sia-siakan, dia meminta pengunduran diri secara terhormat sebagai Gubernur Jenderal. Tinggal aku berbaring sendiri menjadi alas bagi cangkir kopinya yang kini digantikan dengan cangkir teh setiap hari.
Aku mengamati tuanku, berdiri perlahan dari kursi kerjanya. Membuka arsip-arsip dan membacanya. Melangkah mendekatiku. Aku berpikir bahwa inilah saatnya. Saatnya aku diisi dengan tinta bermanfaat, hanya satu lembar? Apa yang hendak tuan tulis? Tangannya mengambil tubuhku yang pipih, dipandangnya dalam-dalam. Lalu tuan berdiri menuju pintu depan istana. Aku terkaget saat melihat ada sebuah peti mati di halaman istana. Aku masih ada digenggamannya. Orang pada berkerumun di halaman istana. Atmat yang sedang mengarit ikut berdiri ternganga menyaksikan masa di halaman istana.
“Sudah siapkan kowe, iring-iringan untukku?” Kata Tuan, kepada lelaki berpakaian putih menggunakan sarung kotak-kotak sebagai bawahan.
“Tuan lihat, iring-iringan udeh pade siap, batu nisanpun, udeh! hanya tinggal…”
“Tinggal menungguku? Klaar,” Tuan Willem menambahkan.
“Bukan maksud,Tuan!?”
“Tidak apa apa, kowe tunggu saja, sebentar lagi,” Tuan Willem masuk kedalam istana, langkahnya begitu berat menuju ruang kerjanya.
Sekali lagi dia memandangiku, lalu mulai menulis dengan penanya. Tuan menakuk mengenai pembagian harta yang akan tuan tinggalkan. Setelah selesai, aku disimpannya diatas meja. Lalu tuan duduk di kursi goyang.
Tuan Willem berselimut, memejamkan matanya tanpa tersenyum. Terdengar Atmat berlari ke ruang kerja, masih membawa aritnya.
“Tuan!Tuan Willem!” Atmat tidak mendapat jawaban. Tuan Willem telah tiada, siap diarak menuju pekuburan, setelah dimandikan dan didandani seragam putih yang sangat gagah itu.
Atmat meraihku, membacanya lalu tersenyum. Tiba-tiba dari pangkal pintu muncul seorang lelaki keturunan belanda-indo. Lelaki itu tanpa bicara meraihku. Atmat dan lelaki tersebut saling berebut hingga aku koyak. Aku menjadi dua bagian, di tangan Atmat dan di genggaman lelaki muda berdarah campuran tersebut. Aku tak sadarkan diri, tapi aku bisa melihat. Mereka berdua saling merobek tubuhnya. Kita bertiga menjadi enam bagian masing-masing saling merobek diri menjadi dua. Tetapi mereka tidak dapat didaur ulang.
Jakarta, 13 Februari 2016
Catatan:
Onderneming (Perkebunan)
Deeleman (Delman)
Naamloze Vennootschaap (NV) Papierfabrieken Nijmegen (Pabrik Kertas Belanda)
onderkoopman (asisten pengepul)
Raad van Justite (Dewan keadilan)
Ontvanger-generaal (Presiden Dewan Keadilan)
Onderneming en Tjiasem Landen (Perkebunan di Pamanukan)
Bataviaas Bijbelgenootschap (Lembaga Alkitab Batavia)
Contingente (pajak)
Voorhandsche title (cover)
Vignet (hiasan berbentuk kotak, cenderung menciptakan frame)
Hoofdcommissaris (komisaris besar polisi)
Oorlog (Departemen angkatan perang)
Featured writing
Tidak dapat diketahui pasti umur pernikahan Ibu Neter dan Bapak Sijuljang. Mereka adalah pasangan suami istri yang berasal dari Suku Anak Dalam, Jambi.
Kematian pasti meninggalkan kesedihan bagi tiap orang yang ditinggalkan. Seperih apapun ditinggal orang tersayang (orang tua, adik, kakak, kekasih), tak dapat membuat mereka kembali.
Sepanjang melakukan perjalanan ke wilayah pelosok di Timur Indonesia, rasanya baru kali ini menemukan tempat yang bebas asap rokok dan ada larangan minum minuman keras.
Jalan panjang terbentang dari kota paling timur di NTT (Nusa Tenggara Timur), Atambua, menuju teras perbatasan NKRI – Timor Leste di Motaain. Ini adalah jalan nasional. Jalan berkelok dari Atambua – Atapupu menuju Motaain ini jadi saksi Referendum 1999 yang berlumur darah.
Apa kabar dengan Desa Biandoga yang terhalang pegunungan?
Aku selalu ingat setiap Tuan keranjingan. Mengetik hingga pagi tanpa menyisakan waktu beristirahat. Menuangkan pikirannya ke tubuh kami. Mengetik cerita mengenai pribumi yang dibonsaikan oleh para penjajah.